Baru-baru ini mertua saya di panggil oleh kepala lingkungan untuk mengukur batas tanah, hal itu di karenakan ada dari pihak tetangga yang ingin memperbaharui surat tanah dan setelah di ukur ternyata melewati batas dari tanah mertua saya, jadi untuk memperjelas kebenarannya maka di panggillah kedua belah pihak.
Untuk memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik maka saya ikut hadir di waktu pengukuran tanah. Ada hal-hal menarik yang saya temukan pada saat pengukuran tanah, seperti penyampaian salah satu aparat desa yang menyatakan bahwa titik awal pengukuran tanah yang berbatasan dengan parit jalan itu di ukur dari tengah jalan, walaupun sewaktu saya tanya tentang dasar acuan undang-undangnya dia bilang tidak tahu tetapi saya anggap bahwa ucapan tersebut bisa di pertanggung jawabkannya karena ketentuan itulah yang dengarnya sewaktu mengikuti kegiatan dan pelatihan PNPM.
Sewaktu pengukuran ternyata surat tanah yang menunjukkan ukuran tanah yang di miliki oleh tetangga tersebut ternyata berupa copian, dan setelah saya tanyakan mengenai surat aslinya dia bilang surat tersebut di makan rayap sehingga yang ada hanya copiannya. Melihat hal ini saya mewakili keluarga tidak terima karena batas tanah yang di langgar dan di akui miliknya hanya bisa di buktikan lewat surat yang bukan surat aslinya sedangkan milik keluarga saya adalah surat tanah asli yang di tulis di atas materai tahun 1983. Karena menurut hemat saya suatu surat yang hanya copian tidak berlaku dalam membuktikan apa-apa.
Setelah dengan perdebatan lama akhirnya kami memutuskan untuk mengambil jalan tengah yaitu menjadikan tanah yang menjadi sengketa untuk di buat jalan sehingga bisa bermanfaat bagi semua.
Sebenarnya sebelum waktu pengukuran tanah saya sudah mempersiapkan bahan-bahan yang menjadi rujukan dalil dalam mempertahankan hak pada diri atau hak atas tanah, seperti yang terdapat pada Pasal 28C ayat 2 UUD 1945 yang isi nya ” setiap orang berhak memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya” dan Pasal 28D Ayat 1 “setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta bendanya”. Pada Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok agrarian atau yang sering kita sebut UUPA ada beberapa Pasal yang menyebutkan tentang hak kepemilikan tanah seperti pasal 4 ayat 2, pasal 6, pasal 16, Pasal 19 ayat 2 point C, Pasal 20 ayat 1, pasal 23 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 27 tentang syarat-syarat penghapusan hak atas tanah. Mengenai surat tanah juga bisa kita temui pada PP no. 24 tahun 1997 pada pasal 32 ayat 1 “Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya”.
Itulah tadi sedikit pengalaman saya dalam mengatasi masalah sengketa tanah yang terjadi pada keluarga.